Banyak cara
untuk bisa mencintai seseorang. Banyak alasan untuk dapat mencintai ataupun
menghentikan rasa itu. Dan banyak juga cara untuk menyampaikan rasa itu, dengan
cara berbeda, menghanyutkan, atau bahkan membunuh perasaan itu sendiri. aku
belajar dari bagaimana aku pernah gagal. Aku belajar dari bagaimana bisa aku
menahan perasaan itu ketika seharusnya perasaan ini tidak tertahan. Dan aku juga
belajar dari gadis itu.
Aku melihat
gadis itu hanya bersembunyi dibalik pondok kenangannya. Dengan seulas senyum
tipis yang dipaksakan hanya untuk dapat melihat “keindahan” yang pernah dia
miliki. Hanya untuk sekedar melepas rindu dengan menatap dari kejauhan, dia
sudah bahagia. Lalu aku melihatnya menuliskan sepucuk surat dan memasukkan ke
dalam botol. Lalu dia melemparkan botol itu ke depan pantai. Dan pada akhirnya
surat itu akan menepi sendiri ke tempat
kemana surat itu harus berlabuh. Cara kuno bukan? Tapi aku suka melihatnya.
Botol
menepi. Surat itu sekarang berada dalam genggaman “keindahan” gadis itu. dia
membaca. Lama sekali. Sesekali tersenyum. Sesekali terlihat air muka iba. Dan sesekali,
dia hanya dapat menghela nafas.
“ aku hanya bisa hidup di dalam bayangannya
saja. Tidak bisa lebih dan aku tidak tahu apakah bisa menjadi lebih lagi. Aku pernah
bertemu makhluk Tuhan yang sangat indah,dia indah dan sangat indah. Aku tidak
bisa menyusun kata-kata yang pantas untuk menyampaikannya. Waktu berjalan cepat
dan berakhir entah sampai kapan. Semua berubah tanpa aku bisa menghentikan itu.
Dulu aku bisa melihatnya dari dekat, tapi sekarang aku hanya mampu
melihatnya dari balik pondok itu, ya.. katakanlah itu pondok kenangan. Dulu aku
bisa menyeka keringat yang mengalir di dahinya, tapi sekarang aku hanya bisa
melihatnya menyeka keringat itu sendirian. Dulu aku bisa menjadi alasannya
tertawa, tapi sekarang aku tergantikan. Dulu adalah dulu, dan aku sudah hidup
di masa sekarang.
Tuhan adil, memberikan dia hanya untuk sementara. Tuhan mengajarkanku
bagaimana untuk tidak menyakiti makhluk indahnya itu. aku tahu, aku terlampau
jauh menyakiti makhluk indah itu. dia indah, sangat indah. Mungkin dia memang
hanya pantas untuk keindahan lainnya. Tapi apakah salah jika suatu saat aku
ingin mengambil keindahan yang pernah menjadi milikku lagi?
Makhluk indah itu pernah berkata akan tetap membuatku tertawa. Tapi aku
hanya bisa menangis setelah dia mengatakan itu. dia pernah berkata bahwa aku
tidak boleh menangis. Tapi dia selalu membuatku menangis karena ketakutan. Aku tahu
dia indah, dan banyak yang ingin memilikinya. Itulah yang kutakutkan, bukan
menjaganya, tetapi malah membuatnya menjadi resah karena kegelisahan
berlebihanku.
Disini adalah titik awal aku melihat namaku diukir diatas pasir ini. Iya
pasir yang putih dan suci ini. Dengan sesederhana mungkin dia mengukirnya dan
aku terkesan. Tapi dia salah, dia mengukir sangat dekat dengan pantai. Pantas saja
dalam sekejap tulisan itu hilang. harusnya dia meniru aku, menuliskan nama itu
dalam sebuah ukiran, dalam sebuah tulisan, dalam sebuah gambar. Itu tidak akan
hilang kecuali aku sendiri yang merusaknya. Lihatnya, mereka masih terjaga
sampai sekarang.
Ada masanya aku ingin menangis, ingin marah, kecewa, sakit hati. Tapi untuk
apa? Makhluk indah itu memang sudah terlampau bahagia, meskipun dia tidak
sadar, perlahan mereka menjauhinya. Dan hari ini, aku bertemu dengannya tanpa
sengaja. Dia sendiri dan aku tidak punya sedikit pun keberanian untuk hanya
sekedar menyapa, menanyakan kabarnya, ataupun memberikan makanan kesukaannya. Tidak.
Aku terlalu takut melakukan itu. aku takut justru malah semakin terjebak ke
dalam perasaanku sendiri yang tidak bisa kukendalikan.
Lalu, mata kami tidak sengaja
saling bertemu. Tatapan mata itu. sendu. Sendu dan menghanyutkan. Hanya tatapan
matanya lah yang kusuka. Dan kemudian kami saling berpaling. Berpura-pura tidak
pernah terjadi. Tapi itu tidak hanya sekali. Berulang kali. Dan aku sadar,
bukan hanya aku yang memperhatikannya, tapi aku juga merasa diperhatikan. Namun,
dari titik terjauh dari pusat tubuhnya. Dari sudut terjauh dari perasaannya. Dia.....
belum berubah sepenuhnya.
Dan aku, hanya bisa sedikit saja memberikannya senyuman. Senyum yang
sangat tipis. Senyum pemaksaan, dan kuharap dia bisa memberikan lebih. Tapi yang
kuharap hanyalah kehampaan. Aku yang memulai untuk menjauhi, dan begitu juga
dia mengikuti. Aku yang merusak, dan dia mengikuti. Dia hanya memberikan senyum
tipis yang dipaksakan juga. Ya, disertai mata sendunya.
Lalu aku merasa ini adalah hari terburuk yang pernah kualami. Bertahun-tahun
aku menjauhinya, dan semua hilang perlahan. Namun hanya dalam hari ini semua
terasa kembali. Lalu untuk waktu yang lama aku berdiam diri. Merenungkan apa
yang harusnya aku lakukan. Lihatlah sayang, ini bukan malapetaka! Bukankah aku
sangat merindukannya? Harusnya rasa rindu itu terobati hanya dengan sekedar
melihat tatapan mata itu.
Aku hanya tidak ingin terpuruk lebih lama lagi. Dan akhirnya aku hanya
bisa mengagumi ciptaan Tuhan itu dari jauh. Mengubah semua rasa sakit itu menjadi rasa kebahagiaan. Aku bahagia,
rinduku terobati. Aku bahagia hanya bisa mengenang rasa yang dulu pernah aku
rasakan bersamanya, aku bahagia hanya bisa melihatnya dari kejauhan tanpa harus
menyentuh ke dalam hidupnya lebih dalam lagi. Dan aku bahagia, aku memiliki
mereka semua yang melindungiku seperti kamu yang pernah melindungiku.
Aku hanya bisa berterima kasih kepada Tuhan karena pernah mengenalkan
makhluk indahnya kepadaku. Menatap, merasakan, mencintai, semua dari kejauhan. Itu
sudah cukup untuk mengajarkanku bagaimana caranya berterimakasih dan menghargai
penyesalan....”
Lalu aku melihat lelaki itu hanya
tersenyum tipis. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya setelah membaca surat
itu. lalu kulihat gadis itu juga tersenyum. Menghela nafas lalu pergi
meninggalkan pondok itu. dari mereka aku belajar, penyesalan bisa kuubah
menjadi suatu kebijakan. Kesedihan bisa kuubah menjadi kebahagiaan. Karena,
terkadang aku lebih suka membiarkan semuanya mengalir, meskipun aku tahu aku
memaksakan aliran itu....